Indonesia adalah suatu negara yang berbentuk multi budaya, multi etnis, agama, ras, dan multi golongan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.
Dari satu sisi, secara teori multi budaya tersebut merupakan potensi budaya yang dapat mencerminkan jati diri bangsa. Secara historis, multi budaya tersebut telah dapat menjadi salah satu unsur yang menentukan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, multi budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Najwan (2016:196), dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi dalam masyarakat yang berbentuk multi budaya. Selain itu, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana, agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Konflik etnik merupakan salah satu jenis konflik yang tujuan dari salah satu pihak secara khusus didefinisikan dalam kerangka etnik, dan dimana kesalahan utama dari konfrontasi tersebut adalah perbedaan etnik. Apapun isu yang nyata ketika konflik terjadi, paling tidak, salah satu pihak yang bertikai akan menjelaskan kekecewaan dalam istilah-istilah etnis, salah satu pihak yang bertikai akan mengklaim bahwa perbedaan identitas etnik adalah alasan kenapa anggota etnis tidak dapat menyadari keinginannya, mengapa mereka tidak memperoleh hak yang sama, atau mengapa klaim mereka tidak memuaskan (Stefan Wolf, 2006 dalam Hemafitria, 2019:2).
Salah satu contoh konflik budaya yang ada di Indonesia adalah perang sampit. Perang antara suku Dayak dan suku Madura. Dapat diketahui bahwa terjadinya konflik antara suku Dayak dan suku Madura disebabkan oleh bahasa yang digunakan oleh orang atau pelaku yang berasal dari suku Madura kasar terhadap orang atau korban dari suku Dayak yaitu kata “Bungul atau bodoh”. Berdasarkan budaya dan kajian bahasa Dayak kata “Bungul” itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat suku Dayak bahwa kata “bungul” itu bahasa yang kasar dan merendahkan atau menghina bagi orang Dayak dan itu sangat tabu sekali diucapkan (Androfo, dkk., 2021:4).
Adanya konflik tersebut menyebabkan lebih dari 500 korban tewas, lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal mereka. Banyak juga ditemukan orang Madura yang dipenggal kepalanya oleh orang Dayak. Konflik ini sangat memberikan dampak yang besar, banyak korban jiwa dan banyak suku yang kehilangan kepercayaan terhadap suku yang lain.
Konflik ini terjadi karena kurangnya pemahaman antar suku Madura dan suku Dayak, kurangnya komunikasi juga mempengaruhi terjadinya konflik ini. Komunikasi antar suku dan budaya sangat penting. Komunikasi antarbudaya (KAB) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa ras, etnis, atau sosio ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini) (Rizak, 2018:95).
Dalam hal ini, budaya dalam komunikasi antarbudaya tidak hanya terbatas pada adat-istiadat, tari-tarian ataupun hasil kesenian lainnya. Budaya dalam komunikasi antarbudaya adalah yang mewujud pada aspek material kebudayaan atau kebudayaan dalam bentuk benda-benda konkret dan aspek non-material yaitu kebudayaan dalam bentuk kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan untuk mengatur hubungan yang lebih luas termasuk agama, ideologi, kesenian dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia (Liliweri, 2014:12-14 dalam Rizak, 2018:95)
Upaya penanggulangan konflik antar budaya dan etnis menurut Hemafitria, (2019:7-9) adalah sebagai berikut:
Interaksi sosial
Menurut Muslim (2013) interaksi sosial menyangkut hubungan timbal balik antar pribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok. Hal ini tercermin dalam aktivitas-aktivitas sosial yang mampu dilakukan oleh masyarakat Toho dengan karakteristik perbedaan yang ada. Interaksi itu tidak hanya dipicu oleh dorongan kebutuhan ekonomis, biologis, emosional dan sebagainya yang mengikat dirinya, melainkan juga sebagai fitrah yang tak terbantahkan pada dirinya (Husain 1993: 78 dalam Hemafitria, 2019:7-9).
Interaksi sosial yang meliputi pembauran dan komunikasi antar etnis dan agama sudah tampak pada masyarakat. Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi. Anggota masyarakat berinteraksi antar sesama dan dengan kelompok lain berdasarkan pengetahuan dan pemahaman terhadap norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Membangun interaksi sosial positif yang didasari semangat multikultural yang dimiliki masyarakat, tidak cukup dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kemajemukan itu sebagai suatu hal yang bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia.
Berdasarkan adanya interaksi sosial yang dimiliki masyarakat menunjukan bahwa identitas diri yang dimiliki tidak semata-mata ditujukan oleh apa yang kita miliki, tetapi ditentukan pula oleh pengakuan semua orang atau sekelompok lain terhadap kita dalam situasi tertentu. Hal inilah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat dalam megembangkan wawasan multikultural agar terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Kerja sama
Kerja sama bisa terjadi bila individu atau kelompok mempunyai kesadaran akan tujuan yang sama, sehingga timbul aktivitas yang saling menunjang membantu untuk bersama-sama mencapai tujuan.
Bentuk kerja sama difungsikan sebagai perekat sosial, sebagai modal sosial dan memperko-
koh modal sosial. Melalui kegiatan arisan gawai atau arisan perkawinan, arisan sunatan, arisan kematian, belalik, dan gotong-royong akan terjadi integrasi antar orang-orang dari berbagai kelas sosial dan agama serta beragam latar belakang.
Dengan adanya kerja sama maka antar ras, antar suku, maupun antar golongan akan terbiasa bersosialisasi dan berkomunikasi sehingga keduanya dapat memahami satu sama lain dan akan menghindari adanya konflik.
Toleransi
Toleransi adalah sikap dan perilaku manusiawi dan religius, yang tidak hanya menghormati perbedaan, tetapi juga menjunjung tinggi kebebasan setiap pribadi dalam menentukan jalan hidupnya sejauh tidak melanggar norma-norma sosial. Dalam konsep toleransi ini, istilah menerima dipahami sebagai menghormati dan mengakomodasi fakta perbedaan menjadi suatu kekuatan positif bagi terciptanya keharmonisan (Lauster, 1994:84 dalam Hemafitria, 2019:9).
Sikap toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain yang diwujudkan dengan kebebasan melaksanakan ajaran dan agama masing-masing. Sikap ini tentunya mendorong masyarakat dalam mengikuti perayaan hari besar keagamaan seperti perayaan natal bersama dan halal bihalal bersama.
Sikap toleransi juga dapat berupa sikap menghargai suku ras masing-masing budaya. Tidak merendahkan salah satu suku yang ada sehingga tidak ada pihak yang merasa terejek. Dengan demikian, sikap toleransi dapat mencegah terjadinya konflik antar budaya dan etnis.
Androfo, G. Khuzaini. & Hayat, A. M. 2021. Komunikasi antar Budaya dalam Konflik antar Suku serta Penyelesaiannya pada Suku Dayak dan Madura di Kota Banjarmasin. Masters thesis, Universitas Islam Kalimantan MAB. 1-6. Diakses dari http://eprints.uniska-bjm.ac.id/4431/ pada 04 Maret 2023.
Hemafitria. 2019. Konflik Antar Etnis Melalui Penguatan Wawasan Multikultural. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. Vol. 3, No. 1. 1-11. Diakses dari https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/kewarganegaraan/article/view/1092/915 pada 04 Maret 2023.
Najwan, J. 2016. Konflik Antar Budaya dan Antar Etnis di Indonesia Serta Alternatif Penyelesaiannya. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 16. 195-208. Diakses dari https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/3874/3452 pada 04 Maret 2023.
Rizak, M. 2018. Peran Pola Komunikasi Antar Budaya Dalam Mencegah Konflik Antar Kelompok Agama. Islamic Communication Journal. Vol. 3, No. 1, 88-104. Diakses dari https://journal.walisongo.ac.id/index.php/icj/article/view/2680/1688 pada 04 Maret 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar